Page 8 - Temporal Flux
P. 8

kali dipresentasikan dalam pameran Contemporary Art of Non Aligned Countries di
        Galeri Nasional Indonesia, lalu dibawa ke Singapore Art Museum dalam pameran
        South East Asia Art. Sama seperti di Jakarta, versi di Singapura juga menghadirkan
        proses pertumbuhan padi di Auditorium Singapore Art Museum. Karya ini kemudian
        didokumentasikan ke dalam bentuk CD-ROM. Karya Aseupan dari Selatan kemu-
        dian dipamerkan kembali dalam pameran proyek seni Pertumbuhan yang dipres-
        entasikan di Centre Culturel Francais (CCF) Bandung pada Februari 1998. Selain
        menayangkan video pertumbuhan kecambah kacang panjang, proyek seni ini juga
        membuat sawah di Plaza CCF dan pertunjukan performance yang melibatkan per-
        former Wawan Sofwan dan Nandang Gawe, dan juga, penonton pameran. “Pun-
        caknya adalah audiens menjadi “komentator” bahkan “penilai” dari seluruh proses
        interaktif dan interrelasi ini (aktivitas ini pun tertayang secara audio visual). Reali-
        tas menjadi sangat majemuk—tanpa setting ruang dan waktu—dengan dibarengi
        tayangan  rekaman  pertumbuhan  yang  telah  disiapkan  sebelumnya.  Pergerakan
        dari interaksi menjadi situasi ini di antaranya dimungkinkan oleh karena beberapa
        hal misalnya: penggandaan jumlah monitor TV beserta konfigurasinya, penggan-
        daan  gambar  ke  dalam  skala  layar  lebar  proyeksi,  manipulasi  gambar  dan  efek
        suara serta pembedaan materi program (tiap monitor).”[8]
               Melibatkan publik sebagai penonton aktif merupakan salah satu elemen
        artistik yang terus dikembangkan oleh Krisna Murti dari periode ke periode. Periode
        kedua bagi Krisna Murti dapat dilihat dari kecenderungannya mendalami teknologi
        media digital di akhir 90an dan awal tahun 2000an. Teknologi media digital tidak
        hanya dilihat sebagai alat produksi representasi kenyataan, tetapi juga peluang di
        dalam mengembangkan unsur partisipatif yang memang menjadi alamnya teknolo-
        gi media digital.

               Di  masa  ini,  Krisna  Murti  juga  mulai  memikirkan  bagaimana  melibatkan
        publik (penonton) lebih jauh dengan karya-karyanya. Bagaimana menjadikan publik
        sebagai penonton aktif sehingga terjadi dialog dua arah antara penonton dengan
        karya. Bahkan dalam beberapa karya, ia menempatkan interaksi publik sebagai
        estetika terakhir yang menyempurnakan karyanya, seperti pada karya boo-it-your-
        SELF,  pertunjukan  instalasi  video-bunyi  selama  satu  hari  (14  September  2000).
        Pertunjukan atau karya ini mengajak penonton untuk berdialog dengan televisi den-
        gan menggunakan bunyi angklung sebagai media perantaranya. Jika pada peri-
        ode sebelumnya unsur performativitas seringkali dipresentasikan oleh Krisna Murti
        dengan menghadirkan pemain teater, penari, ataupun orang-orang yang memiliki
        keahlian khusus di bidang seni pertunjukan, pada periode kedua ini ia lebih cair
        dengan menghadirkan unsur performance sebagai bentuk interaksi antara penon-
        ton dengan karyanya. Hal yang juga terlihat pada proyek seni Video Spa, (Miss)
        Call Me Please (2010), dan seri (E)Art(h)quake (2004-2016).

               Dalam moda produksi gambar bergerak di masa sebelumnya, ia banyak
        melakukan eksperimen dengan teknologi media video analog dan video semi-digi-
        tal, serta menggunakan metode jurnalisme investigasi dan teknik dokumenter yang
        merekam situasi masyarakat saat itu, objek-objek, ataupun penggunaan found foot-
        age dari siaran televisi dan film. Sedang pada periode kedua, ia menambah beber-
        apa kosakata gambar bergerak, seperti melihat kemungkinan-kemungkinan yang
        dapat dihadirkan oleh fitur-fitur teknologi digital di dalam memaknai kembali repre-
        sentasi kehidupan manusia yang diciptakan dan dihadirkan oleh mesin teknologi
        media baru atau digital, seperti misalnya; animasi dan varian efek visual yang lebih
        banyak dibanding masa sebelumnya. Di masa ini, istilah seni media baru atau new
        media art juga digunakan oleh Krisna Murti—sedang di masyarakat global, istilah
        new media art semakin meluas ke seluruh dunia sejak tengah-akhir 90an. Salah
        satu karyanya yang dapat dijadikan acuan tentang hal ini adalah Wayang Machine
        (2001). Ia menyebut karyanya itu sebagai karya seni media baru atau new media
        art.



                                          8
   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13