Page 7 - Temporal Flux
P. 7

kaitannya dengan konteks perubahan masyarakat Indonesia yang terjadi di masa
        pra, saat, dan awal Reformasi 1998. Bagaimana pergulatan politik, krisis ekonomi,
        krisis kemanusiaan, perubahan teknologi, globalisasi, dan lain sebagainya, yang
        dialami oleh masyarakat Indonesia (dan Asia Tenggara) saat itu, ia terjemahkan
        ke dalam berbagai bentuk seni instalasi video. Pada periode ini juga dapat dilihat
        bagaimana perkembangan, perubahan, dan perdebatan dari wacana seni media,
        sebuah disiplin seni yang masih sangat baru di Indonesia saat itu. Dari penyebutan
        seni instalasi, performance video installation, seni rupa video, hingga penggunaan
        istilah video art untuk menyebut proyek seninya Nenek Moyangku Orang Sangiran
        (1997).
















          Suasana pameran “12 Jam Dalam Kehidupan Penari Agung Rai” di Studio R-66, Bandung, 17-24 September 1993. Sumber:
               Koleksi Pribadi Krisna Murti. Foto ini tersimpan dan dirawat oleh Indonesian Visual Art Archieve Yogyakarta
               Umumnya, ketika kita membicarakan Situs Manusia Purba Sangiran, kepa-
        la kita selalu merujuk pada fosil purba, teori evolusi Darwin, atau hal yang berkaitan
        dengan arkeologi. Tetapi tidak dengan Krisna Murti. Proyek seni Nenek Moyangku
        Orang Sangiran (1997) dibuat beberapa bulan setelah Situs Manusia Purba Sangi-
        ran ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO (tanggal 5
        Desember 1996). Dalam proyek seni ini, Krisna Murti lebih tertarik membahas ten-
        tang konteks relasi masyarakat Sangiran yang hidup saat itu dan hubungannya den-
        gan ‘tambang fosil’ dan narasi-narasi pinggiran lainnya yang mengitari wacana situs
        tersebut, seperti; perdagangan fosil, tidak terurusnya situs dan museum, penemu
        fosil yang hidupnya tetap melarat, dan realitas lain yang muncul dari situs purbakala
        tersebut. Ia menulis demikian perihal itu. “Apakah yang bisa Anda bayangkan ketika
        Tukimin, penemu tengkorak Homo Erectus terlengkap (1969) menunjukkan lokasi
        ditemukannya fosil tersebut, pada saat itu pula terdengar lagu dangdut memekak di
        antero desa/situs. Suara itu keluar dari 3 unit raksasa elektronik sebuah persewaan
        sound system “Gema Nusantara Sangiran” yang dipakai untuk hajatan,” tulis Krisna
        Murti.[6]
               Video Nenek Moyangku Orang Sangiran memiliki dua versi. Versi kanal
        tunggal 26 menit yang dipresentasikan pada 1997 dan versi 9 menit 30 detik yang
        dipecah menjadi tiga layar dengan tiga narasumber yang berbeda: Tukimin, Su-
        geng (Lurah Sangiran), Prof. Teuku Jacob. Ketiganya seakan saling berdebat satu
        sama lain. Karya video versi tiga kanal ini dipamerkan di Fukuoka Asian Art Muse-
        um pada 1999 dan menjadi salah satu koleksi museum tersebut.[7] Selain video,
        proyek seni ini juga mempresentasikan fosil, foto etching Semiotika Tengkorak Ma-
        nusia Berjalan Tegak, foto etching & woodcut Fosil Tulen, dan lainnya.
               Di periode ini, ia juga banyak memanfaatkan objek organik sebagai salah
        satu pilihan bahasa estetikanya yang ia benturkan dengan media elektronik, salah
        satunya  tumbuh-tumbuhan.  Hal  ini  terlihat  dari  beberapa  proyek  seninya  yang
        menggunakan bahan organik, seperti Aseupan dari Selatan (1995) yang pertama

                                          7
   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12